Thursday, July 03, 2008

FORMULIR PENDATAAN KREDIT BERMASALAH UMKM

PEMERINTAH PROVINSI DIY
TEAM AD-HOC PENYELESAIAN KREDIT USAHA MIKRO KECIL
DAN MENENGAH (UMKM) PASCA GEMPA BUMI
DI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Sk.Gubernur DIY No. 55/TIM/2007


FORMULIR PENDATAAN KREDIT BERMASALAH UMKM

A. Identitas Usaha
1. Asal Asosiasi :.........................................................
2. Nomor Induk anggota asosiasi :............................
3. Nama Pengusaha : .................................................
4. Alamat / domisili Pengusaha : ..............................
5. Telp./Fax./HP :........................................................
6. Alamat Tempat Usaha : .........................................
7. Nama Usaha : .........................................................
8. Bentuk Usaha : a. PT b.CV c. UD d. Perorangan
e. Koperasi f. Lain-lain
B. Tentang Kredit/Pinjaman
1. Nama Kreditor / Pemberi Kredit : ..........................
2. Alamat Kreditor/pemberi kredit : .............................
3. Tempat Pengikatan Kredit : Notaris: ......................
4. Nilai kredit yang diambil : Rp. .................................
5. Sisa Kredit Sekarang :
Pokok : Rp. .......................................................
Bunga: Rp..........................................................
Denda: Rp.........................................................
6. Tanggal Pengikatan/Ambil Kredit : .......................
7. Sudah Direstrukturisasi :
a. Sudah Tgl ………......b. belum
8. Jangka waktu Kredit : .................. Tahun/Bulan
9. Nilai suku bunga Kredit : ............ % per Tahun
10. Nilai angsuran Per Bulan :
Pokok : Rp. .................................................
Bunga : Rp. .................................................
11. Bentuk Colleteral/ jaminan yang diagunkan:
a. Tanah SHM/HGB No : .........................................
b. Fiducia BPKB/STNK No : ...................................
c. Lain-lain: ................................................................
12. Jaminan yang berupa tanah merupakan:
a. Tempat Usaha
b. Rumah Tinggal
c. Rumah Tinggal & Tempat Usaha
d. Bukan Rumah/Tempat usaha
e. Lain-lain
13. Nilai Penjaminan Hak tanggungan (HT) :
Rp. ............................
14. Status Liquiditas Kredit : a. Berpotensi Macet b. Macet
15. Penyebab Kredit macet/bermasalah: (Mohon dilingkari)
a. Terkena Dampak Langsung :
a.1. Nasabah UMKM yang menjadi korban meninggal/
cacat akibat bencana alam
a.2. Rusaknya rumah, dan atau tempat usaha
a.3 Rusaknya alat produksi
a. 4. Rusaknya bahan baku
b. Terkena Dampak tidak langsung
b.1. Berkurangnya hilangnya potensi pasar
b.2. Berkurangnya tenaga kerja karena terserap di r
ekonstruksi fisik
b.3. Berkurangnya supplay bahan baku
b.4. Menurunnya kapasitas produksi
16. Berapa Bulan tidak membayar angsuran Kredit :
.......................Bulan
17. Tindakan yang telah dilakukan oleh Kreditor/
Pemberi Kredit : (Mohon dilingkari)
a. Sudah Didaftarkan lelang
b. Peringatan akan dilelang
c. Ditawari take over
d. Ditawari pengambilalihan asset
e. Ditawari untuk menjual sendiri
f. Lain-lain:……………………………………………
18. Usaha /Tindakan yang sudah anda lakukan: ...............
19. Informasi tambahan: ........................................................
Lampiran:
1. Copy Identitas Diri,
2. Copy Perjanjian Kredit,
3. Surat-surat tagihan
4. Surat peringatan lelang dan atau pemberitahuan lelang eksekusi,
5. Surat Perjanjian Restrukturisasi (kalender),
Dengan ini saya menyatakan bahwa pengaduan ini dibuat dengan jujur dan sebenar-benarnya, apabila di kemudian hari isi laporan ini tidak benar, maka saya memberi wewenang sepenuhnya kepada Tim Advokasi untuk tidak menindaklanjuti pengaduan ini.
Yogyakarta,…………….2007
Pelapor Penerima Pengaduan
(__________________________) (______________________)
Nama & Cap Perusahaan

Tuesday, June 24, 2008

POTRET UMKM DAN KEBIJAKAN PEMERINTAH PASCA BENCANA ALAM



Oleh : Wirono Dana Bhakti

Dua tahun gempa bumi di Yogyakarta telah berlalu. Sekedar membongkar ingatan kita untuk dijadikan referensi, bahwa catatan World Bank pada Juni 2006 menyebutkan kerusakan dan kerugian yang disebabkan oleh bencana alam ini mencapai nilai lebih kurang Rp. 29 Triliun (Assessment Report on the Current State of Rehabilitation of Livelihoods and Possibilities for Further Improvement in the Aftermath of the Yogyakarta and Central Java Natural Disaster of May 2006, September 21, 2006).

Kerusakan dan kerugian ini antara lain meliputi ribuan korban manusia baik meninggal dunia ataupun luka-luka, ribuan bangunan individu dan fasilitas umum rusak, serta macetnya kegiatan ekonomi secara umum selama lebih dari satu minggu. Kerusakan dan kerugian pada sektor ekomomi yang secara langsung maupun tidak langsung dirasakan oleh pelaku usaha skala mikro, kecil dan menengah yang menurut perhitungan World Bank telah mencapai angka sekitar Rp. 9 triliun.

Survei yang dilakukan oleh Bank Indonesia bekerjasama dengan PPE-FE UAD yang mendapatkan fakta bahwa Persoalan pelaku UMKM pasca bencana adalah: rusaknya infrastruktur dan alat usaha, kehilangan sumber daya manusia untuk produksi, terputusnya hubungan dengan suplayer dan buyer, kehabisan/kesulitan modal kerja, kesulitan dalam memenuhi kewajiban membayar angsuran kredit usaha dan merosotnya moral ke-wirausahaan (entrepreneurship) (Survei BI, PPE UAD & UMY June 2006).

Di sisi lain, peran UMKM dalam roda perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) --khususnya dalam hal penyerapan tenaga kerja— menempati posisi yang sangat penting.
Data BPS melaui sensus ekonomi awal tahun 2006 menunjukkan bahwa jumlah UMKM di DIY tahun 2006 sebanyak 403.348 dimana usaha mikro menempati posisi 82,1%, Usaha Kecil 16,6%, dan UMKM telah menyerap 91.93% dari total 915.100 tenaga kerja di Yogyakarta BPS DIY, (BPS DIY, Ringkasan Listing Sensus Ekonomi 2006). Gambaran ini menunjukkan bahwa usaha kecil dan menengah (UKM) merupakan tulang punggung bagi perekonomian DIY.

***
Saat ini kita bisa melihat, bahwa pembangunan infrastruktur sudah banyak dilakukan, baik oleh pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, NGO asing maupun oleh organisasi-organisasi lainnya. Namun roda ekonomi di Yogyakarta, terutama Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), baik sektor industri, perdagangan, pariwisata, jasa maupun sektor-sektor yang lain masih dalam kondisi yang sulit.

Kondisi sulit para pelaku UMKM pasca bencana alam di Yogyakarta tersebut, terindikasi dari pengakuan para responden pelaku UMKM pada penelitian yang dilakukan oleh UNDP pertengahan 2007 yang menyatakan bahwa tingkat penjualan dari pelaku usaha secara mayoritas masih lebih rendah dari periode sebelum gempa. Di sana disebutkan, 53% responden menyatakan tingkat penjualan mereka turun. (Prof. Mudrajad Kuncoro, Ph.D, “Agenda Pemulihan UMKM di Yogyakarta pasca Gempa”, 2007).

Di samping itu, masih banyaknya pengaduan UMKM kepada Jogja Rescue Team (JRT) tentang persoalan kredit usaha mereka di lembaga kreditur yang saat ini telah sampai pada tahap lelang eksekusi jaminan, menambah bukti, bahwa pasca gempa bumi masih meninggalkan persoalan yang krusial di bidang ekonomi mikro, kecil dan menengah di DIY.

Berdasarkan pengaduan UMKM kepada (JRT), pihak kreditur –perbankan, leasing, pegadaian, koperasi, dan lintah darat-- sudah banyak yang mengancam untuk melakukan penyitaan aset UMKM, sedangkan usaha UMKM belum pulih 100%. Data yang dicatat oleh Tim Ad Hoc (Sumber dari BI dan pengaduan UMKM) per April 2008, jumlah nasabah UMKM yang terkena dampak gempa bumi di DIY sebanyak 18.734 nasabah dengan nilai kedit sebesar 405,1 Milyar Rupiah.
Sesungguhnya dinamika UMKM di Yogyakarta telah banyak mengalami penurunan pasca terjadinya kenaikan BBM di tahun 2005, ditambah lagi dengan adanya krisis energi yang berdampak pada krisis ekonomi, mau tidak mau juga mempengaruhi geliat para pelaku UMKM. Penurunan tersebut semakin diperparah dengan adanya musibah bencana alam 27 mei 2006.
Secara drastis sebagian besar industri yang berorientasi ekspor telah gulung tikar segera setelah gempa, yang masih hidup pun mengalami kemunduran.
Ekspor DIY tahun 2007 menurun 9 % dibanding tahun 2006. Gambaran ekspor DIY dari tahun 2005-2007 adalah sebagai berikut:
2005 : 143.471.318,34 USD
2006 : 138.472.541,88 USD
2007 : 125.561.490,42 USD (Sumber Disperindagkop DIY, diolah oleh API DIY, 20 Februari 2008)

Bahkan Tim Teknis Nasional (TTN) pada awal januari 2007 telah memperkirakan bahwa di Jateng (Klaten) dan DIY sebagai dampak dari Gempa 27 Mei, akan terjadi potensi pengangguran sekitar 200.000 orang. (KOMPAS, 17 Januari 2008)
Terjadinya pengangguran menjadi nyata ketika kegiatan rekonstruksi bangunan telah selesai dan kegiatan UMKM belum juga membaik. Tenaga kerja yang sementara terserap oleh kegiatan rekonstruksi pasca gempa di sektor fisik tidak dapat kembali lagi ke tempat asal pekerjaannya karena banyak UMKM yang belum pulih atau bahkan telah menemui ajal. Hal tersebut ber-implikasi pada semakin meningkatnya angka kemiskinan di Yogyakarta jauh di atas angka kemiskinan rata-rata nasional. Indeks Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index) meningkat dari 3,59 pada Juli 2005 menjadi 3,80 pada Maret 2007 Indeks Keparahan Kemiskinan (Distributionally Sensitive Index) naik dari 1,02 menjadi 1,12 pada periode yang sama. (Sumber : BPS DIY No. 16/08/34/Th. IX, 01 Agustus 2007).

Mau tidak mau harus diakui bahwa kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi yang dilakukan oleh berbagai pihak di DIY masih bias kepada aspek rekonstruksi fisik. Persentase alokasi dana bagi kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca gempa sebagian besar ditujukan untuk kegiatan pembangunan fisik terutama pembangunan rumah. Sementara alokasi untuk kegiatan ekonomi hanya memperoleh persentase yang cukup kecil, pada tahun 2006 hanya tersedia dana sebesar Rp. 61,9 miliar, terdiri dari Rp. 14,9 miliar dana dari APBN dan anggaran dekonsentrasi ditambah Rp. 47 miliar dana dari pemerintah provinsi. (Sumber: Presentasi Satuan Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana (Satkorlak PB) Provinsi DIY pada Forum Jogja Bangkit Mei 2007). Sementara kerusakan pada sektor ekomomi telah menyentuh pada angka 9 Triliun Rupiah (Sumber: Assessment Report on the Current State of Rehabilitation of Livelihoods and Possibilities for Further Improvement in the Aftermath of the Yogyakarta and Central Java Natural Disaster of May 2006, September 21, 2006).
Untuk menjawab kebutuhan akan kerusakan fisik dan sarana kerja UMKM, mungkin rekonstruksi perumahan dianggap cukup, namun bila dikaitkan dengan persoalan lain berupa putusnya akses pasar, kesulitan mendapatkan bahan baku, kesulitan dalam mendapatkan permodalan kembali dan persoalan dalam kesulitan membayar angsuran kredit lama pelaku UMKM, pemerintah belum banyak mengeluarkan kebijakan berarti bagi UMKM.

Dampak tersebut tentunya akan berimlikasi pada produktifitas UMKM sehingga kualitas UMKM yang terkena dampak baik langsung maupun tidak langsung akan berbeda dengan sebelum terjadinya bencana alam. Perbedaan tersebut secara kasat mata dapat dilihat dari omset pendapatan UMKM, sehingga Kesulitan dalam memenuhi kewajiban untuk membayar angsuran kredit modal kerja yang telah diambil sebelum terjadinya bencana adalah salah satu problem yang cukup mengemuka di kalangan pelaku UMKM.

Persoalan kredit bermasalah UMKM pasca bencana sebenarnya telah diprediksi sebelumnya sehingga pemerintah pusat telah mengeluarkan kebijakan sebagai antisipasi dari kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Pada kasus bencana alam di Yogyakarta dan sebagian jawa tengah, Bank Indonesia sebagai regulator moneter telah mengeluarkan PBI 8/10/2006 sebagai turunan dari PBI 8/15/2005 tentang perlakuan khusus terhadap kredit Bank bagi daerah-daerah tertentu di Indonesia yang terkena bencana alam.
Secara umum peraturan Bank Indonesia mengenai perlakuan khusus tersebut telah “mengarahkan” agar para kreditur memberikan fasilitas restrukturisasi atau reschedulling kepada pelaku UMKM yang beroprasi di daerah bencana sehingga kredit tersebut dapat dikatakan lancar sampai batas waktu yang ditentukan, bahkan peraturan tersebut telah “menyarankan” agar pihak kreditur dapat memberikan suntikan permodalan baru yang pembukuannya dibuat terpisah dari kreditnya yang lama (Lihat PBI : 8/10/2006 pasal 4 dan pasal 6).
Namun secara praktek di lapangan, peraturan tersebut tidak dapat menjawab persoalan tersebut, karena:

Pertama secara teknis petunjuk pelaksanaan peraturan tersebut masih gamang dipahami oleh pihak kreditur, bahkan untuk pinjaman permodalan baru bagi UMKM di wilayah bencana, pihak kreditur masih harus mensyaratkan “kelayakan” yang berpedoman pada perinsip perbankan pada situasi normal (UMKM harus Bankable).

Kedua, restrukturisasi dan atau reschedulling hanya akan mengulur-ulur waktu kematian UMKM saja. Di dalam restrukturisasi dan atau rescheduling tetap memberlakukan sistem denda dan bunga, sehingga kredit UMKM akan semakin membengkak nanti ketika jatuh tempo jika UMKM ternyata tidak mampu memenuhi kewajibannya. Bahkan yang lebih ironis, tunggakan bunga dan denda debitur selama dikatakan macet (Sebelum diberlakukan restrukturisasi dan atau direschedulling) diakumulasi menjadi satu kewajiban yang harus dibayar debitur selama waktu restrukturisai dan rescheduling berjalan.
Ketiga, Persoalan dari kredit bermasalah UMKM di wilayah bencana adalah kemampuan mereka untuk memenuhi kewajibannya, sehingga yang harus dijadikan dasar dari kebijakan adalah bagaimana supaya UMKM di wilayah bencana dapat kembali bangkit, sehingga kewajibannya dapat segera dipenuhi.
Atas persoalan kemacetan dalam membayar angsuran kredit UMKM di Yogyakarta yang sempat mengemuka dan menjadi isu pokok yang patut untuk diselesaikan, sementara peraturan Bank Indonesia yang telah ada belum mampu meyelesaiakan persoalan tersebut, dengan itikat baik pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, baik Legislatif maupun Eksekutif telah mengeluarkan himbauan, seruan bahkan permohonan kepada pihak kreditur untuk menunda dulu pelelangan eksekusi jaminan Pelaku UMKM yang kesulitan dalam memenuhi kewajibannya sebagai debitur. Sikap dan upaya yang dilakukan Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tersebut secara kronologis adalah sebagai berikut (Sumber : Tim Adhoc Penyelesaian Kredit bermasalah UMKM Pasca Bencana Alam di Yogyakarta):

Pada tanggal 28 Juni 2007 DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Komisi B telah merekomendasikan kepada Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Untuk segera menangani persoalan UMKM Pasca gempa bumi 27 Mei 2006 khususnya mengenai persoalan kredit bermaslah.

Menindak lanjuti rekomendasi DPRD DIY tersebut, Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta telah mengeluarkan Surat Himbauan dan Permohonan kepada Pihak Perbankan untuk dilakukannya Reschedulling dan atau Injeksi kredit serta penagguhan eksekusi jaminan bagi KUKM yang terkena dampak gempa bumi tertanggal 27 Mei 2006 dengan No. Surat 581/2272 dan Surat No. 581/1213 tertanggal 31 Maret 2008.

Gubernur DIY juga telah mengkomunikasikan persoalan tersebut kepada Menteri Keuangan, Menko Perekonomian, Menteri Perindustrian, Bank Indonesia serta pihak pihak lain yang terkait di pemerintahan pusat agar untuk dicarikan jalan keluarnya sesegera mungkin. Atas komunikasi tersebut, pemerintah pusat menanggapinya secara positif dan akan mengupayakan penyelesaian.
Lalu pada tanggal 25 Agustus 2007 Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta telah membentuk Tim Ad-Hoc Guna menyelesaikan persoalan UMKM pasca bencana alam;

Meskipun Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta telah berupaya menyelesaikan persoalan kredit bermasalah UMKM pasca bencana alam, namun kenyataan di lapangan menceriterakan hal yang berbeda, penyitaan dan pelelangan aset UMKM masih terus dilaksanakan oleh pihak kreditur. Seakan-akan himbauan dan rekomendasi bahkan permohonan tersebut dianggap sebagai angin lalu.

Kenyataan masih tetap dijalankannya lelang eksekusi aset jaminan UMKM yang kesulitan dalam menjalankan kewajibannya sebagai debitur, secara teori dapat dijelaskan sebagai berikut :

Pertama, bukan menjadi kewenagan Pemerintah Daerah untuk menghentikan penyitaan aset UMKM yang telah diikat melalui perjanjian kredit antara pihak kreditur dan debitur.

Kedua pelelangan terjadi secara kasus perkasus (individu-individu) sehingga tim yang dibentuk pemerintah dengan segala keterbatasannya kesulitan memposisikan persoalan yang telah diarahkan kreditur menjadi persoalan perdata di mana pihak kreditur telah dilindungi oleh Undang-Undang Hak Tanggungan untuk melakukan sita eksekusi jaminan jika debitur telah “dianggap wanpretasi” (ingkarjanji).

Keempat, lelang penyitaan aset UMKM oleh perbankkaan tersebut difasilitasi oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) di bawah Kementrian Keuangan Negara yang notabene adalah bagian dari pemerintah. Hal tersebut secara jelas dan nyata menggambarkan kepada kita bahwasannya “itikat baik” pemerintah dalam menangani persoalan kredit UMKM yang bermasalah akibat bencana alam tersebut masih hanya sebatas wacana. Itikat baik tersebut tidak dilaksanakan secara komperhensif dan terintegratif sehingga pada implementasinya tidak diterapkan secara utuh oleh badan-badan atau lembaga pemerintahan yang terkait.

Kelima, memang belum ada kebijakan secara khusus yang mengatur prilaku kreditur dalam mengantisipasi persoalan kemacetan kredit yang diakibatkan dari kondisi Force Majore, minimal mencantumkan klausul hak serta kewajiban kreditur dan debitur jika terjadi kondisi tersebut di dalam Perjanjian Kredit.
Menilik dari pengalaman di Yogyakarta, maka sudah menjadi keharusan bagi pemerintah pusat untuk merumuskan kebijakan khusus yang komperhensif dan terintegratif serta mengikat semua pihak guna menjawab persoalan UMKM pasca terjadinya bencana alam. Keharusan tersebut tentunya didasari atas pertimbangan yang termuat didalam konsideran UU No. 24 Tahun 2007 tentang penaggulangan bencana alam yang sayangnya belum memuat tindakan-tindakan kongkrit untuk menjawab rekonstruksi ekonomi pasca terjadinya bencana alam. Sehingga kedepan, perlakuan khusus tersebut bukan terkesan hanya sebagai “Kebaikan hati dan belas kasihan“ segelintir orang atau kelompok saja, namun perlakuan khusus tersebut merupakan implementasi dari pembukaan UUD 1945 alenia ke 4 yang dilakukan Negara Kepada Rakyatnya.

Dari semua paparan di atas, sekarang yang dibutuhkan adalah political will dari semua pihak yang berkompeten untuk membuat sistem yang bisa menjawab persoalan di atas. Tentu sistem yang dibutuhkan untuk kepentingan yang lebih luas, yaitu terciptanya Republik Indonesia yang berkeadilan dan sejahtera. Tanpa sistem yang baik dan mendukung, semua itu hanya isapan jempol saja!.

***

Wirono Dana Bhakti
Sekretaris Jendral Serikat Pekerja Hukum Progresif (SPHP) Indonesia & Anggota Jogja Rescue Team
Jl. Kusuma Negara No. 133 Yogyakarta
Telp./Fax.: (0274) 545531
e-mail: bangkit_yo@yahoo.com

Sunday, June 15, 2008

UU UMKM Jadi Pemicu Kebangkitan


JAKARTA -- Disahkannya UU UMKM diharapkan mampu menjadi stimulan positif bagi terwujudnya kebangkitan sektor tersebut. Sektor UMKM, yang selama ini berperan penting namun kerap dilupakan, akan semakin mantap mengembangkan skala usahanya.


"Definisi soal UMKM sudah baku, skala-skalanya baku. Itu memudahkan untuk pengembangan UMKM," ujar Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Sandiaga S. Uno di Jakarta kemarin. Dia mengatakan, selama ini, definisi skala UMKM masih rancu, baik itu untuk skala mikro, kecil, maupun menengah. Antardepartemen pemerintah pun terkadang tidak sinkron. Momentum pengesahan UU UMKM ini juga bisa dimanfaatkan UMKM-UMKM untuk mendapatkan pendanaan dari pasar modal.


Dalam UU tersebut disebutkan, skala mikro adalah usaha yang memiliki aset kurang dari Rp50 juta. Sementara skala kecil adalah usaha dengan aset Rp50 - 500 juta. Dan, skala menengah adalah usaha beraset Rp500 juta - Rp10 miliar. UU UMKM itu juga dinilai akan mampu memberi iklim positif bagi pemberdayaan UMKM. Sebab, di dalamnya diatur soal pola kemitraan antara pengusaha besar dan UMKM. "Pola kemitraan itu akan mampu mendukung peningkatan bisnis UMKM, tentu dengan konsistensi sikap," ujarnya.


Diharapkan, pola kemitraan itu akan mengangkat sektor UMKM menjadi pengusaha besar. Pola kemitraan yang diatur, misalnya, pola subkontrak, waralaba, inti-plasma, perdagangan umum, distribusi keagenan, dan bentuk lain seperti bagi hasil, kerja sama operasional, usaha patungan, dan outsourcing. Namun, kata dia, tentu saja pengembangan UMKM tidak hanya berhenti pada UU. Untuk memacu pengusaha besar menjalankan kemitraan dengan UMKM-UMKM, pemberian insentif layak dipertimbangkan. Terkait soal kredit perbankan, Sandiaga mengatakan, skim kredit UMKM seharusnya diperbanyak untuk kredit modal kerja dan kredit investasi, bukan ke kredit konsumsi. "Kredit UMKM masih cenderung konsumtif, meskipun itu tak selamanya buruk. Alangkah baiknya kalau ke modal kerja atau investasi, biar ada dampak riilnya, seperti pengurangan pengangguran," kata bos Grup Recapital itu.


Sandiaga mengatakan, problem krusial terkait pendanaan UMKM sebenarnya terletak pada akses kredit. Karena itu, pengaruh kenaikan suku bunga acuan BI rate sebenarnya tidak terlalu besar. "Suku bunga tidak jadi momok. Oke menaikkan suku bunga untuk inflasi. Di pasar pengusaha sudah telanjr dapat bunga tinggi, 15 persen bahkan lebih," katanya. Yang justru jadi momok adalah ketersediaan akses kredit. "Bagaimana kredit itu bisa diakses, itu yang penting," tuturnya. Karena itu, Sandiaga berharap banyak pada penyaluran kredit usaha rakyat (KUR) yang tahun ini ditargetkan tersalurkan Rp 14 triliun.


Dia mengatakan, inflasi yang menembus dua digit, ditambah krisis energi listrik, semakin menyulitkan UMKM. "Daya saing kita akan tergerus karena 15-20 persen biaya produksi untuk listrik." Karena itu, para pengusaha menyiasatinya dengan menggunakan genset. Namun, hal tersebut juga tidak mudah karena harga BBM industri terus naik. "Kita sedang melobi soal listrik ini," katanya. Sandiaga menyesalkan ketidakmampuan pemerintah memenuhi kebutuhan energi warganya. "Dalam kondisi global seperti saat ini, Indonesia sebenarnya bisa jadi lokomotif. Kita punya semuanya, kok. Kalau energi bisa dibenahi, kita bisa jadi leader," ujarnya. (eri)

Thursday, June 12, 2008

Copyrights for Arts and Crafts


By William T. Lasley


Many craftspeople use copyrights to protect their work. What is involved? And more importantly, how much protection does a copyright offer the average crafter?
What types of things does a copyright protect? According to the U.S. Copyright Office, a copyright can be used to protect “original works of authorship that are fixed in a tangible form of expression”. The categories are very broad and, yes, craft designs can be protected by a copyright.


What do you have to do to register a copyright? Actually, when the work is created, it is automatically copyrighted. That’s right, all of your original pieces of work are automatically copyrighted without registering a copyright. However, to offer any real protection, you must register your copyright.


Crafts would fall under the “Visual Arts, Drawings, Photographs, Sculpture, etc.” category.
Once registered, how do you protect your copyright? A copyright itself does not automatically keep someone from stealing your designs any more than a law keeps crime from happening. You must take steps to protect your copyright from infringement. This would involve not only finding people who may be infringing, but also enforcing the copyright through proper channels.
For the average craftsperson, the amount of work involved in detecting infringement and enforcement is not feasible. However, a copyright will deter some people from copying your work. The choice is yours. If you have a piece of work that you fear will be copied, especially if you will be targeting a large market, you may want to consider registration. ***


Wednesday, March 12, 2008

LAPORAN & CATATAN TAHUN 2007
MENGHADAPI TAHUN 2008:

korban.jpgPercepatan Pemulihan Ekonomi Yogyakarta

Pasca Bencana Alam

27 Desember 2007

Gambaran Umum

Hampir 2 tahun gempa bumi di Yogyakarta telah berlalu. Pembangunan infrastruktur sudah banyak dilakukan, baik oleh pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, NGO asing maupun oleh organisasi-organisasi lainnya. Namun roda ekonomi di Yogyakarta, terutama Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), baik sektor industri, perdagangan, jasa, pertanian maupun sektor-sektor yang lain masih dalam kondisi yang sulit. Terbukti dengan banyaknya pengaduan UMKM berkaitan dengan kondisi usaha mereka, terutama masalah kredit usahanya kepada Tim Ad-Hoc Penyelesaian Kredit Bermasalah Pasca Gempa Yogyakarta & KP2E Yo Bangkit.

Mau tidak mau harus diakui bahwa kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi yang dilakukan oleh berbagai pihak di DIY masih bias kepada aspek rekonstruksi fisik. Persentase alokasi dana bagi kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca gempa sebagian besar ditujukan untuk kegiatan pembangunan fisik terutama pembangunan rumah. Adapun alokasi untuk kegiatan ekonomi, pendidikan dan pariwisata terbukti hanya memperoleh persentase yang cukup kecil.

World Bank dalam laporannya memperkirakan kerugian yang terjadi akibat gempa di DIY mencapai Rp. 29 triliun, dan kerugian serta kerusakan yang utama dialami oleh Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian DIY. Namun sangat ironis bahwa alokasi anggaran untuk merehabilitasi potensi ekonomi utama ini justru mendapatkan alokasi anggaran dalam persentase yang cukup kecil. Bahkan ekonomi DIY yang secara jelas ditopang oleh industri pariwisata dan pendidikan ternyata anggaran yang dialokasikan guna merehabilitasi kedua industri tersebut sangat minim untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali.

Mengapa UMKM? Dari catatan BPS Yogyakarta tahun 2006 tercatat 97,93% pelaku usaha di DIY adalah UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah). Sehingga bisa dikatakan bahwa UMKM merupakan tulang punggung ekonomi Yogyakarta. Maka secara otomatis, jika mayoritas para pelaku UMKM terkena problem-problem yang menghimpit di atas, akan sangat berimbas pada roda perekonomian Yogyakarta secara keseluruhan.

Saat ini, tampaknya kondisi kegiatan ekonomi UMKM di DIY belum cukup membaik. Hal ini tampak dari pengakuan responden pada penelitian yang dilakukan oleh UNDP (2007) yang menemukan bahwa tingkat penjualan dari pelaku usaha secara mayoritas masih lebih rendah dari periode sebelum gempa (53% responden menyatakan tingkat penjualan mereka turun).

Sejak awal pasca gempa bumi di Yogyakarta, secara ekonomi, Komite Percepatan Pemulihan Ekonomi Yogyakarta “Yo Bangkit” – UKM Center telah memprediksi dampak bencana alam ini. Bahwa gempa bumi ini memiliki implikasi negatif pada perubahan kondisi perekonomian pada skala mikro maupun makro DIY. Rusaknya infrastruktur dan terganggunya kegiatan perekonomian, seperti robohnya pasar modern maupun tradisional, pertokoan, peralatan dan kegiatan produksi, lembaga keuangan, maupun masalah ketenagakerjaan serta kondisi ekonomi rumah tangga, diduga akan membawa konsekuensi disequilibrium (ketidakseimbangan) baru dalam perekonomian khususnya di Yogyakarta.

Bencana tersebut membawa dampak sangat signifikan terhadap perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta. Sehingga besarnya nilai kerusakan yang dialami oleh sektor industri akibat gempa bumi memaksa sejumlah besar unit usaha terpaksa berkurang kapasitas produksinya dan bahkan ada yang harus berhenti berproduksi karena mengalami kerusakan alat produksi. Hal ini membawa konsekuensi terhadap pengurangan jumlah tenaga kerja yang digunakan dalam unit usaha tersebut.

Hampir dua tahun pasca bencana alam ini, diperkirakan DIY telah menerima tidak kurang dari US $15 juta dari lembaga donor dan lembaga international lainnya untuk kegiatan rekonstruksi. Namun sekali lagi, dana yang cukup besar ini sebagian besar masih terfokus untuk kegiatan pembangunan fisik. Indikasi untuk bergerak dalam bidang livelihood atau ekonomi dari lembaga internasional masih sangat minim. Dari program livelihood yang ada pun porsi terbesar alokasi dana tersebut lebih pada technical assistance, ini yang dipandang kurang menyentuh pada akar persoalan bisnis yang ada di DIY, khususnya pasca bencana alam. Karena berdasarkan pemantauan dari pengaduan UMKM, yang sangat krusial untuk segera di atasi adalah masalah modal kerja.

Di samping itu tampaknya bantuan untuk merevitalisasi ekonomi DIY ini masih gamang dilakukan, karena tidak ada kejelasan rencana detail rekonstruksi bidang ekonomi dari pemerintah daerah. Oleh karena itu sangat diperlukan konsep yang jelas dari pemerintah daerah mengenai detail rencana pembangunan ekonomi DIY pasca gempa.

Jika kita menilik sejenak ke belakang (sebelum gempa bumi) pada perjalanan roda ekonomi para pelaku UMKM, kita tidak bisa lepas dari beberapa hal yang sangat mempengaruhi terhadap kelancaran usaha mereka, di antaranya adalah:

  1. Krisis moneter pada tahun 1997,

  2. Pergolakan politik arus reformasi

  3. Kenaikan BBM (bahkan 2 kali naik) pada tahun 2005.

  4. Otonomi Daerah, dengan konsekwensi-konsekwensinya.

  5. dan faktor-faktor lain-lain

Dengan adanya beberapa faktor di atas, serta diakhiri dengan peristiwa gempa bumi, beban UMKM terasa sangatlah berat.

Dari beberapa pembahasan dan analisa studi terhadap para pelaku UMKM yang mengadu di posko pengaduan Tim Ad-Hoc & KP2E Yo Bangkit, dapat diambil beberapa kesimpulan bahwa yang menjadi akibat dari dampak gempa bumi secara ekonomi adalah:

  1. Rusaknya infrastruktur dan alat usaha,

  2. Kehilangan sumber daya manusia untuk produksi,

  3. Terputusnya hubungan dengan suplayer dan buyer,

  4. Kehabisan/Kesulitan modal kerja, dan

  5. Merosotnya moral ke-wirausahaan (entrepreneurship) pelaku usaha.

Hal-hal inilah yang --jika tidak ditangani secara serius-- akan menimbulkan multiple efek yang sangat luas. Meledaknya pengangguran, menurunnya daya beli masyarakat, meningkatnya angka kemiskinan, dan pada gilirannya akan sangat berdampak pada sosial kemasyarakatan. Bahkan cenderung pada naiknya angka kriminalitas!

Berdasarkan permasalahan-permasalah tersebut di atas, maka diperlukan sebuah pendekatan yang bersifat komprehensif dan terintegrasi serta melibatkan seluruh stakeholders. Lebih dari hal tersebut, diperlukan sebuah action yang bersifat segera namun tetap terprogram secara baik.

Maka Komite Percepatan Pemulihan Ekonomi Yogyakarta (KP2E Yo Bangkit-UKM Center) bersama-sama dengan asosiasi-asosiasi usaha, lembaga akademik di DIY, Lembaga Bantuan Hukum DIY, Lembaga Ombudsman Swasta, serta lembaga terkait lainnya berusaha mengantisipasi hal-hal tersebut dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang berfungsi sebagai katalis terhadap pemulihan ekonomi Yogyakarta pasca bencana alam.

Jika dipetakan, pola kerja KP2E Yo Bangkit lebih dominan pada porsi sebagai pendorong terhadap kebijakan ekonomi yang diprogramkan oleh pemerintah maupun lembaga-lembaga lain (baik LSM maupun NGO asing) agar sesuai dengan kebutuhan dunia usaha di DIY.

Menghadapi tahun 2008 dan 2009, yang mana pesta demokrasi akan berlangsung, KP2E Yo Bangkit menengarai adanya degradasi perhatian terhadap dunia ekonomi oleh pemerintah maupun lembaga-lembaga lain. Hal ini yang menyebabkan review dan evaluasi kegiatan pemulihan ekonomi pada akhir 2007 dan menghadapi tahun 2008 menjadi sangat krusial.

Beberapa sektor yang menjadi catatan penting dan harus diperhatikan di antaranya adalah:

Permodalan & Advokasi UMKM

Kemampuan untuk recovery usaha dari pelaku bisnis, sangat terkait dengan kemampuan untuk melakukan rehabilitasi atau rekonstruksi terhadap segala kerusakan yang telah dialami, dalam hal ini terkait dengan kemampuan finasial yang dimiliki.

Berdasarkan survey tahun lalu, para pelaku usaha sangat memprioritaskan kebutuhan yang mendesak adalah modal kerja untuk memulihkan kondisi usahanya (59%). Maka dibutuhkan kebijakan yang betul-betul mendukung terhadap permodalan bagi dunia usaha di DIY, khususnya UMKM.

Permodalan usaha erat kaitannya dengan masalah kredit usaha. Dari berbagai diskusi yang dilakukan dan analisa dari berbagai pengaduan yang ada, KP2E Yo Bangkit-UKM Center bersama asosiasi-asosiasi usaha DIY, LBH DIY, LOS DIY telah melahirkan Jogja Rescue Team, sebagai tim yang melakukan edukasi, mediasi, dan advokasi terhadap UMKM yang mengalami kredit bermasalah kepada bank dan lembaga keuangan non-bank. Target terbentuknya Jogja Rescue Team adalah:

  1. Mengupayakan agar bank dan lembaga keuangan non-bank tidak melakukan penekanan-penekanan terhadap UMKM, apalagi melakukan eksekusi terhadap agunan kredit UMKM yang bermasalah pasca bencana alam.

  2. Mengupayakan agar pemerintah mengeluarkan kebijakan MORATORIUM terhadap kredit UMKM selama 3 tahun, agar mereka dapat bekerja dengan tenang, tanpa ada penekanan dari pihak kreditur.

  3. Adanya kebijakan khusus kepada UMKM yang terkena masalah kredit macet, baik berupa restrukturisasi, reschedulling kredit, recondisioning, maupun hair cut kredit.

Akhirnya untuk lebih memperkuat legitimasi dan bargaining position serta dengan adanya dukungan dari berbagai pihak dan terutama desakan dari dunia usaha, maka terbentuklah Tim Ad-Hoc Penyelesaian Kredit UMKM Pasca Gempa Bumi di DIY dengan SK Gubernur DIY No 55/Tim/2007. Dimana personel yang ditunjuk dalam tim tersebut dari unsur Pemerintah Provinsi DIY, Dinas terkait (Disperindakop DIY), Jogja Rescue Team, Polda DIY, LBH DIY, LOS DIY, Kejaksaan Tinggi DIY, dan DPRD DIY.

Langkah strategis Jogja Rescue Tim –yang diteruskan dengan Tim Ad Hoc- adalah membuka pengaduan bagi UMKM yang terkena masalah kredit macet, khususnya pasca bencana alam. Hal-hal yang telah diprediksi sejak awal ternyata terbukti dengan banyaknya pengaduan yang mengalir ke meja tim Ad Hoc. Dari data sementara pengaduan tersebut yang masuk berjumlah 500 lebih kasus dengan nilai kredit sebesar Rp. 23.241.555.795,- dengan nilai agunan sebesar Rp. 59.834.589.736,-

Kemudian Tim Ad Hoc juga berupaya meminta data dari perbankan tentang nasabah yang terkena dampak bencana yang pernah di release Bank Indonesia, dimana menurut laporan perbankan, data nasabah yang terkena dampak bencana mencapai 98 ribu nasabah dengan nilai kredit yang berpotensi bermasalah –pasca bencana alam-- mencapai nilai 1,3 Trilyun rupiah.

Dari data hasil pendataan yang dilakukan Tim Ad Hoc yang dikirimkan BI baru 43 bank dan lembaga keuangan non-bank (termasuk koperasi dan BPR), dengan Jumlah nasabah sekitar 6.300 nasabah. Jauh dari data yang diungkapkan oleh BI yang terkena dampak bencana per Juni 2006 yang mencapai 98.000 nasabah.

Sampai saat ini pengaduan masih terus mengalir di sekertariat Tim Ad Hoc. Di samping itu banyak pula pertanyaan dari para pengadu (UMKM) dan lembaga perbankan tentang tindak lanjut program Tim Ad Hoc.

Dalam upaya mendesakkan kebijakan ke Pemerintah Pusat melalui Menteri Koordinator Perekonomian dan Menteri Keuangan, masih mempunyai banyak kendala, dimana pihak pemerintah pusat meminta data by name UMKM yang terkena dampak bencana dan jumlah dana yang dibutuhkan. Disamping itu hambatan lain adalah anggaran untuk support operasional Tim Ad Hoc yang sampai saat ini belum terealisir. Ini masalah yang sangat krusial!

Dalam tugas memfasilitasi dan mendampingi nasabah UMKM yang terkena dampak bencana, Tim Ad Hoc telah me-mediasi kasus-kasus tersebut dengan Bank Indonesia yang dipertemukan dengan bank pelaksana dan nasabah UMKM. Hasil mediasi tersebut beberapa kasus telah ditunda penyitaan agunan kreditnya oleh perbankan. Pada dasarnya ini pun belum memberikan solusi untuk bangkitnya UMKM secara baik. Karena penundaan hanya memberikan space bernafas yang kurang leluasa. Maka di samping target penyelesaian kredit di atas, perlu pula dibuat program penyuntikan modal kerja baru untuk membangkitkan usaha UMKM. Dari hasil perhitungan dan diskusi di KP2E Yo Bangkit, Jogja Rescue Team dan Tim Ad Hoc, minimal untuk menyelesaikan masalah kredit macet dan untuk melakukan gerakan kebangkitan UMKM DIY pasca bencana alam, diperlukan sekurang-kurangnya 500 Milyar.

Inilah yang menjadi catatan KP2E Yo Bangkit tentang permodalan & mediasi UMKM, untuk mendorong pemerintah agar masalah-masalah teknis pemulihan kredit macet segera diselesaikan dengan cepat dan bijak.

Industri, Perdagangan & Jasa

Saat ini, tampaknya kondisi kegiatan perdagangan dan jasa belum cukup menjanjikan pula. Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa berdasarkan pengamatan UNDP (2007) menemukan bahwa tingkat penjualan dari pelaku usaha secara mayoritas masih lebih rendah dari periode sebelum gempa (53% responden menyatakan tingkat penjualan mereka turun). Ini bukti bahwa terputusnya hubungan suplayer dengan buyer benar-benar terjadi, sebagai akibat dari bencana alam. Hal ini jelas terjadi karena menurunnya kapasitas produksi dari para pelaku usaha, sehingga berimbas pula pada kepercayaan buyer terhadap suplayernya.

Demikian pula secara spesifik masalah ekspor. Data dari Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi DIY mencatat: bahwa memasuki tahun 2007 (s.d. Oktober), realisasi ekspor masih mengalami penurunan nilai sebesar 11,04%, penurunan volume sebesar 10,09%, dengan perolehan nilai sebesar 102,48 juta US$ dan volumenya 31,19 juta kg.

Posisi ini bisa difahami, mengingat persaingan di pasar global sudah semakin kompetitif, baik di dalam maupun luar negeri, apalagi antara daerah satu dengan daerah lain, antara negara berkembang satu dengan negara berkembang lainnya. Produknya hampir sejenis, sehingga buyers mempunyai banyak pilihan. Kondisi pasar yang demikian cenderung sudah semakin “Buyer Market”. Di sisi yang lain kebijakan pemerintah menaikan harga BBM, berdampak pada peningkatan komponen biaya produksi, sehingga tuntutan efisiensi dan produktifitas tidak bisa ditawar-tawar lagi. Di samping itu masalah kualitas produk dan pola kerja juga merupakan kendala penting bagi pertumbuhan ekspor, khususnya DIY.

Masalah kualitas produk terkait langsung dengan infrastruktur industri. Maka KP2E Yo Bangkit bekerjasama dengan UNIDO Jepang dan Indonesia, EDS Laboratory Inc., Pemda DIY dan lembaga-lembaga terkait lainnya telah mengupayakan adanya kontribusi fasilitas treatment produk kayu dan bambu dari negara Jepang. (Program ini masih dalam proses negosiasi G to G antara Indonesia dengan Pemerintah Jepang).

Kegiatan pendukungnya berupa pameran Rumah Bambu & Kayu yang di datangkan langsung dari Jepang dan telah ditreatment dengan teknologi Ecology Diversity Sinergy. Kegiatan ini dilaksanakan pada bulan Januari-Februari 2007 di JEC Yogyakarta. Di samping itu bekerja sama dengan Universitas Gadjah Mada mengadakan kegiatan International Bamboo Palm Summit 2007 pada bulan tersebut.

Sedangkan pada masalah perdagangan, sejak awal pasca bencana alam, KP2E Yo Bangkit telah mendorong baik secara konseptual maupun terlibat langsung pada kegiatan yang bersifat mendongkrak akses marketing. Pameran dagang misalnya. KP2E Yo Bangkit bersama dengan pemerintah dan asosiasi-asosiasi usaha DIY telah mensupport UMKM dalam kegiatan pameran, baik dalam negeri maupun luar negeri. TexCraft 2007 dan Jogja Export Expo 2007 misalnya. Di samping itu bersama JETRO (Japan External Trade Organization) telah memberikan akses pendampingan tentang design produk kerajinan bagi UMKM serta pameran di Interior Lifestyle di Tokyo Jepang pada Juni 2007.

Akses marketing juga dilakukan oleh KP2E Yo Bangkit bekerjasama dengan Departemen Luar Negeri serta KADIN DIY dalam acara Business Meeting dengan perwakilan duta besar Eropa (Jerman, Turki dan Perancis) pada November 2006.

Dari beberapa kegiatan yang dilakukan oleh KP2E Yo Bangkit di bidang industri dan perdagangan inilah diharapkan bisa menjadi katalis tewujudnya perkembangan di bidang industri & perdagangan di DIY secara lebih baik dan profesional sebagaimana tuntutan perdagangan global.

Pariwisata

Yogyakarta sebagai kota pariwisata sangat bergantung pada kondisi instrumen-instrumen yang mendukungnya, di antaranya adalah infrastruktur, transportasi, keamanan, politik, sosial dan budaya. Jika instrumen-instrumen ini lalai untuk diperhatikan dari pihak-pihak terkait, maka sudah menjadi keniscayaan bahwa dunia pariwisata akan mengalami degradasi yang tidak menguntungkan.

Terkait masalah transportasi wisata di DIY, KP2E Yo Bangkit beserta asosiasi pariwisata telah merekomendasikan dan mendorong pada pihak-pihak terkait untuk membuka akses penerbangan ke luar negeri, Malaysia & Singapore misalnya. Ini sangat krusial bagi perjalanan sektor pariwisata. Karena bagaimanapun kemudahan akses wisatawan asing ke Yogyakarta menjadi faktor pendorong berkembangnya sektor pariwisata.

Berdasarkan catatan dari Masyarakat Pariwisata Indonesia, bahwa tingkat kunjungan para wisatawan manca negara pada akhir 2007 mengalami penurunan yang cukup signifikan. Ini tidak bisa lepas dari keterkaitan dengan instrumen-instrumen di atas. Di samping itu tidak adanya sistem bisnis kepariwisataan di DIY yang mendukung terhadap peningkatan bisnis ini.

Sistem yang mendukung pariwisata ini bisa berupa kolaborasi antara sektor pariwisata dengan sektor-sektor yang lain. Misalnya sektor pendidikan, sehingga tercipta wisata pendidikan. Atau sektor industri kerajinan, misalnya. Sehingga tercipta wisata industri kerajinan, atau dengan sektor-sektor yang lain. Jika sistem ini menjadi satu kesatuan dalam memasarkan industri pariwisata, maka energi yang harus dikeluarkan akan lebih ringan, jika dibanding dengan pola marketing sektor-sektor tersebut secara terpisah.

Seperti kita ketahui bahwa pada tahun 2009 merupakan ajang pesta demokrasi, yang mana konsentrasi institusi pemerintah khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya mulai tahun depan (2008) terfokus pada masalah tersebut. Oleh karena itu perlu dorongan terhadap sektor-sektor ekonomi yang bersifat jangka pendek, termasuk pariwisata misalnya. Hal ini perlu dilakukan untuk mengeliminir dampak yang muncul akibat kegiatan politik yang akan datang. Sehingga diharapkan pula pada gilirannya akan ikut mengantisipasi adanya goncangan terhadap dunia pariwisata. Di sinilah peran pemerintah dan institusi-institusi terkait sangat diperlukan, bahkan harus membuat sistem yang terpadu di antara sektor-sektor lain tersebut, jika tidak ingin sektor pariwisata mengalami collaps.

Tenaga Kerja

Faktor tenaga kerja erat kaitannya dengan peluang kerja dan investasi. Maka iklim investasi yang kondusif perlu didorong untuk menarik para investor masuk ke wilayah Yogyakarta. Hal ini sangat terkait dengan iklim sosial dan politik, baik secara nasional maupun lokal. Maka perlu adanya kesadaran dari berbagai stakeholder yang terkait untuk mengkondisikan iklim ini, agar investasi tetap berjalan dengan baik.

Secara lebih spesifik, berdasarkan survei yang dilakukan oleh UNDP (2007) menemukan bahwa secara total diperkirakan tingkat pengurangan karyawan yang dilakukan oleh sektor usaha mencapai 14%. Ditinjau dari skala usahanya, maka sektor yang paling banyak melakukan pengurangan jumlah tenaga kerja adalah sektor usaha skala menengah dan besar, yaitu mencapai 51% dari responden skala menengah dan besar. Adapun skala kecil dan mikro masing-masing menunjukkan 24% dan 40%.

Dari berbagai indikator makro di atas dapat disimpulkan bahwa dampak gempa bumi 27 Mei 2006 tersebut membawa akibat yang sangat serius, tidak saja untuk jangka pendek akan tetapi juga membawa potensi masalah dalam jangka panjang apabila tidak disikapi dengan sebuah pendekatan yang tepat.

Dari diskusi dengan Asosiasi Buruh Yogyakarta, ada tiga point penting yang harus diperhatikan dalam masalah ketenagakerjaan, yaitu:

  1. Diperlukan adanya pembukaan lapangan kerja yang lebih luas untuk menampung pengangguran di DIY.

  2. Dibutuhkan skema kebijakan/strategi daerah yang dapat meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja.

  3. Adanya perlindungan hukum bagi tenaga kerja yang memadai.

Kelembagaan Ekonomi

Seperti halnya skenario awal terbentuknya KP2E Yo Bangkit adalah merupakan embrio dari lembaga UKM Center yang –dengan lembaga ini- diharapkan bisa menjadi lembaga yang sustainable, legitimate, dan terpadu dalam menangani masalah-masalah UMKM. Bagaimanapun masalah UMKM sangat berimplikasi terhadap pergerakan ekonomi secara umum.

Direncanakan pula bahwa lembaga ini merupakan institusi multi stakeholder, dari unsur pemerintah, asosiasi-asosiasi usaha, lembaga hukum, ombudsman, dan lembaga-lembaga terkait lainnya. Maka dari itu perlu adanya persiapan pembentukan adanya lembaga UKM Center tersebut, baik secara organisatoris, struktur, budgeting, atau perangkat-perangkat organisasi lainnya.

Sedangkan kelembagaan ekonomi yang mempunyai scoope lebih luas, KP2E Yo Bangkit merekomendasikan adanya suatu wadah institusi berupa Dewan Ekonomi Daerah, yang bertugas menganalisa, mensupport, memfasilitasi terhadap planning (perencanaan) serta forcasting (ramalan) kegiatan-kegiatan ekonomi DIY ke depan. Sehingga pergerakan ekonomi DIY bisa terarah, terkontrol dan berjalan dengan baik. Lembaga ini terbentuk pula secara multi stakeholder. Sehingga lembaga ini bisa menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi Yogyakarta.

Di samping itu, dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi yang positif, perlu adanya revitalisasi organisasi asosiasi-asosiasi usaha di Yogyakarta.

Entrepreneurship

The Last but not least adalah masalah mental kewirausahaan. Seberapa canggihnya konsep bisnis dan instrumen-instrumennya untuk membangun sebuah usaha tanpa adanya mental wirausaha yang sehat, sebuah bisnis tidak akan berjalan dengan sehat pula. Maka KP2E Yo Bangkit sangat mendukung adanya kegiatan yang bersifat mendorong terhadap mental kewirausahaan, khususnya bagi UMKM.

Sekedar menyebut kegiatan, KP2E Yo Bangkit telah mengadakan Mujahadah UMKM yang bertujuan menjalin hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhannya pada bulan September 2007. Di samping itu bekerjasama dengan Bara Api Event Organizer telah mengadakan konser kesenian ”KemBalikan Jogjaku” disertai dengan orasi entrepreneurship dari pelaku bisnis. Ini semata-mata untuk membangkitkan mental kewirausahaan bagi UMKM di DIY.

Namun demikian, masih sangat diperlukan adanya kegiatan-kegiatan dengan bentuk yang lain yang bertujuan sama, untuk membangkitkan entrepreneurship bagi UMKM.

***

Penutup & Rekomendasi

Pada akhirnya program rehabilitasi dan rekonstruksi kegiatan ekonomi DIY membutuhkan komitmen bersama dari seluruh komponen masyarakat. Diharapkan pemerintah daerah dapat memberikan rencana strategis pengembangan kegiatan ekonomi DIY pasca gempa secara jelas. Selanjutnya rencana strategis ini diharapkan dapat diterjemahkan oleh komponen masyarakat lainnya (industri keuangan, pendidikan, dll) sebagai acuan bagi pelaksanaan penguatan kegiatan ekonomi DIY. Masing-masing komponen masyarakat perlu bekerjasama untuk memperkuat proses rekonstruksi kegiatan ekonomi ini.

Kegiatan untuk merevitalisasi UMKM dan menggalakkan investasi di DIY perlu menjadi prioritas rencana strategis bagi pengembangan ekonomi DIY saat ini. Memanfaatkan momentum bencana gempa seharusnya dapat di gunakan sebagai pijakan untuk menegosiasikan segala kebijakan baik kepada pemerintah pusat maupun lembaga donor bagi optimalisasi rehabilitasi dan rekonstruksi kegiatan ekonomi.

Kebersamaan menjadi key word bagi pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi kegiatan ekonomi DIY. Tugas menyelesaikan masalah ekonomi bukan hanya domain pemerintah akan tetapi bagi seluruh komponen masyarakat. Oleh karena itu, mari kita bangun ekonomi Jogja menjadi lebih baik.

Pelaku usaha merasa saat ini yang sangat diperlukan adalah suntikan modal agar kegiatan produksi dapat berjalan lagi. Hal ini perlu segera dipenuhi agar pembeli (pasar) tidak hilang. Oleh karena itu bantuan dari industri perbankan, dan pemerintah sangat diharapkan. Bantuan tersebut diharapkan dapat berupa pinjaman tanpa bunga atau berbunga rendah, keringanan pembayaran kewajiban pajak atau penjadwalan kembali cicilan pinjaman.

Dari persoalan-persoalan di atas, maka perlu direkomendasikan kepada beberapa unsur, di antaranya adalah untuk:

  1. Pemerintah DIY

    1. Perlu adanya koordinasi dengan pemerintah pusat dan sektor-sektor terkait bidang ekonomi untuk membuat sistem kebijakan yang jelas tentang strategi recovery khususnya bidang ekonomi pasca bencana alam. Mengingat secara geografis, DIY merupakan wilayah rawan bencana alam.

    2. Perlu segera dikeluarkan kebijakan tentang penanganan kredit bermasalah bagi UMKM pasca bencana alam (melalui Tim Ad Hoc), beserta program pendukungnya berupa support permodalan, baik berupa kredit lunak jangka panjang, maupun hibah.

    3. Bersama DPRD DIY secara sinergis harus bisa mengupayakan dikeluarkannya kebijakan tentang pembiayaan Tim Ad Hoc penanganan Kasus Kredit Bermasalah UMKM.

    4. Perlu meningkatkan dukungan terhadap akses pasar bagi UMKM, berupa kegiatan-kegiatan seperti pameran dagang baik dalam negeri maupun luar negeri, serta kegiatan-kegiatan yang mendukung lainnya.

    5. Di bidang pariwisata perlu berkoordinasi dengan instansi dan lembaga terkait berkaitan kebijakan terhadap sistem pemasaran pariwisata DIY di dunia internasional, yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan sektor pariwisata DIY. Di samping itu segera membuka akses transportasi udara internasional.

    6. Segera membuka dan mempermudah peluang investasi (dengan verifikasi yang standar) untuk membuka peluang tenaga kerja yang lebih luas untuk mengurangi pengangguran.

    7. Dikeluarkannya kebijakan yang mendukung kesejahteraan tenaga kerja.

    8. Perlu mendukung terhadap upaya penanganan sektor ekonomi melalui lembaga yang melibatkan multistake holder yang legitimate, sustainable, capable dalam menangani pergerakan ekonomi daerah.

    9. Perlu mendukung terhadap penyediaan fasilitas publik untuk dunia industri & perdagangan.

    10. Masih diperlukan dukungan kegiatan yang bersifat mengembalikan mental kewirausahaan (entrepreneurship).

  1. Pelaku Usaha

    1. Harus melakukan evaluasi dan introspeksi pada usaha masing-masing dari sisi manajemennya. Sehingga dapat diidentifikasi kekurangan-kekurangan yang telah dilakukan sebelum kondisi terpuruk.

    2. Perlu membangun jaringan yang lebih luas, baik dengan buyer maupun suplayernya.

    3. Perlu adanya mengkaji terhadap development produk masing-masing usaha, sehingga muncul inovasi-inovasi baru yang mampu bersaing baik di tingkat nasional maupun internasional.

    4. Perlu membangun dan membangkitkan mental entrepreneurship diri masing-masing.

  2. DPRD DIY

    1. Bersinergi dengan Pemerintah Daerah DIY dalam mengeluarkan kebijakan yang mendukung terhadap pemulihan ekonomi DIY.

    2. Memberi dukungan terhadap kerja Tim Ad Hoc penyelesaian kredit bermasalah UMKM DIY, baik secara kebijakan finansial maupun program kerjanya.

  3. Asosiasi Usaha

    1. Perlu adanya evaluasi & revitalisasi terhadap organisasi asosiasi bisnis, untuk bergerak secara profesional dan terorganisir secara profesional dan rapi.

    2. Agar mengupayakan sumber pembiayaan yang tetap dan bersifat kontinyu terhadap operasional organisasi.

    3. Perlu menjaring networking pada lembaga-lembaga di luar asosiasi, baik lokal maupun internasional yang bertujuan untuk akses jaringan para anggota-anggotanya.

  4. Perbankan

    1. Segera mengeluarkan kebijakan yang mendukung terhadap penyelesaian kredit bermasalah UMKM DIY pasca bencana alam.

    2. Tidak melakukan penekanan baik mental maupun fisik terhadap pelaku UMKM.

    3. Dalam kondisi dan pertimbangan yang bisa ditolerir tidak melakukan penyitaan asset UMKM.

  5. Tim Ad Hoc Penyelesaian Kredit UMKM pasca Gempa

    1. Segera secara cepat mengupayakan pembiayaan operasional bagi Tim Ad Hoc. Mengingat masih banyaknya pengaduan UMKM yang masuk dalam katagori emergensi.

    2. Bekerja secara profesional dalam menangani kredit bermasalah UMKM DIY.

Demikianlah apa yang menjadi catatan pemulihan ekonomi DIY pasca bencana alam pada akhir tahun 2007 untuk menghadapi kondisi ekonomi 2008. Pada akhirnya, kerjasama yang sinergis antar insitusi menjadi senjata yang paling memegang peranan penting.

Semoga bermanfaat.

***

Monday, February 18, 2008

DARI SOAL KEBERPIHAKAN BANK HINGGA PEMBATASAN MINIMARKET


Dari Penyerapan Aspirasi RUU UMKM Komisi VI ke Daerah-daerah Print E-mail
Ditulis oleh tim DPR RI
Sumber: http://www.dpr.go.id/majalahparlementaria/index.php?option=com_content&task=view&id=64&Itemid=35
Tuesday, 23 October 2007

Komisi VI DPR yang membidangi perindustrian, perdagangan, BUMN dan Koperasi saat ini tengah membahas RUU Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Agar bisa melahirkan UU yang dapat mengakomodir sebagian besar pemangku kepentingan yang bertalian dengan usaha mikro, kecil dan menengah. Komisi VI menyebar anggotanya ke berbagai daerah untuk menyerap aspirasi. Selain menambah wawasan dan pengkayaan khasanah, aspirasi dari kalangan perbankan, perguruan tinggi dan pengusaha kecil serta koperasi akan sangat bermanfaat bagi perkembangan UKM sendiri.

 Komisi VI mengirim 4 tim terbagi Tim ke Propinsi Jabar dipimpin Ketua Komisi VI Didik J. Rachbini didampingi Wakil Ketua Lily Asdjudireja , Wakil Ketua Komisi Dudhie Makmun Murod memimpin Tim ke Propinsi Jawa Tengah, Tim ke Propinsi Sumatera Utara dipimpin Wakil Ketua Komisi Anwar Sanusi dan Wakil Ketua Komisi Agus Hermanto memimpin tim ke Propinsi Jawa Timur.

Dalam pertemuan dengan kalangan perbankan, Komisi VI meminta punya komitmen tinggi untuk membantu menyalurkan kredit bagi pelaku usaha mikro kecil dan menengah. Selama ini keberpihakan bank-bank dalam menyalurkan kredit bagi UMKM sangat kecil.

Ketua Komisi VI DPR Didik J. Rachbini dihadapan jajaran Bank Indonesia, BRI, BNI, Bank Mandiri, Bukopin dan BPD Jawa Barat mengungkapkan, banyak para Banker yang berpendapat bahwa mengurus usaha mikro dan kecil itu tidak Bankable, untuk itu mereka berpendapat tidak perlu diurus. Namun kenyataannya, pada saat negara kita dilanda krisis moneter, justru usaha kecil inilah yang masih survive, sedang usaha-usaha besar banyak yang rontok. Hal ini dialami Bank Rakyat Indonesia (BRI) sebagai bank pemberi kredit bagi usaha kecil.

Didik menambahkan, meskipun sekarang ini ekonomi tumbuh lumayan bagus, tapi angka kemiskinan dan pengangguran masih relatif tinggi. "Ini persoalan krusial yang perlu mendapatkan perhatian serius," kata politisi F-PAN ini.

Untuk itu Didik mengharapkan sumbangan pemikiran dari jajaran Bank untuk mencarikan jalan keluar bagi kemudahan pelaku UMKM. Karena selama ini kemampuan untuk menelusuri seluruh sudut-sudut usaha kecil di Indonesia belum berhasil, dalam arti suplaynya terlalu sedikit dibandingkan dengan kebutuhan yang diinginkan.

Anggota Komisi VI dari F-PG H. Djoko Poerwongemboro mempertanya-kan rendahnya keberpihakan Bank-Bank kepada pelaku UMKM. Menurutnya, konglomerat-konglomerat besar terlalu banyak diberikan kelonggaran untuk diberikan fasilitas, tapi untuk usaha kecil dipersulit. Dalam hal ini dia melihat pemerintah tidak pro pada pelaku usaha kecil.

Wakil dari Kantor Wilayah BRI Surya mengatakan soal kepedulian BRI pada pelaku UMKM tidak diragukan lagi. Menurutnya, kurang lebih 80% kredit di BRI disalurkan untuk UMKM.
Namun kalau memberikan kredit tanpa agunan menurutnya kurang mendidik, karena unsur psikologisnya lebih dominan. Seperti kredit program, pemberian kredit ini banyak yang bermasalah.

Dalam pemberian kredit tanpa agunan BRI baru berani mengeluarkan batas pinjaman Rp 5 juta. Jumlah ini kecil dan tidak dominan, tapi itupun banyak yang menunggak," kata Surya.
Sementara Kepala Kantor Wilayah Bank Mandiri Suharto MZ menambahkan, di daerah hanya diberikan kewenangan untuk pemberian kredit UMKM. Untuk kredit-kredit corporate maupun komersil (jumlah menengah besar) hal itu diputuskan oleh kantor pusat.

Bank Mandiri, kata Suharto, memberikan kredit mikro sampai batas Rp 100 juta dan kecil sampai Rp 5 miliar. Di atas lima miliar untuk usaha yang sifatnya komersil, menjadi kewenangan pusat.

Mengenai kredit tanpa agunan, Bank Mandiri mempunyai program yang namanya kredit serba guna mikro. Kredit ini diberikan sampai batas Rp 10 juta, namun hanya diberikan kepada para pegawai, baik pegawai perusahaan maupun pegawai instansi yang telah menjalin kerjasama dengan Bank Mandiri.

Perihal pemberian kredit tanpa agunan, pada masa pemerintahan Presiden Soeharto pernah dibuat program yang namanya Kredit Ketahanan Pangan (KKP). Namun dalam kenyataannya saat dilakukan penagihan, UKM itu mengatakan bahwa itu bantuan dari Presiden tidak perlu mengembalikan.

Untuk itu, menurut Suharto, dalam pemberian kredit tanpa agunan perlu diatur sedemikian rupa. Kalau nantinya ada pembebasan agunan, di sini perlu ada pengecualian-pengecualian.
Dalam hal ini perlu pemikiran yang agak komprehensif karena masalah ini memang krusial. "Kami takut terjadi volume kredit yang jumlahnya cukup tinggi, walaupun jumlahnya tidak terlalu besar, tapi kalau jumlah nasabahnya banyak akhirnya akan terjadi jumlah yang besar juga, dan secara sistemik akan mempengaruhi roda perekonomian," imbuhnya.

Wajib berperan
 Perbankan perlu diwajibkan berperan aktif untuk meningkatkan akses usaha mikro dan kecil (UMK). Tanpa adanya kata kewajiban, perbankan tidak ada unsur yang memaksa untuk memberikan kredit Demikian ditegaskan Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro Prof. FX Sugianto ketika menerima Tim Komisi VI DPR dipimpin Wakil Ketua Dudhie Makmun Murod.

Menurut Sugianto, ketentuan umum Bab I RUU UMKM yang naskahnya berasal dari pemerintah itu disebutkan bahwa definisi dunia usaha dalam RUU UMKM ini adalah Usaha Mikro, Usaha Kecil, Usaha menengah dan Usaha Besar yang melakukan kegiatan ekonomi di Indonesia.

Dalam pasal 23 ayat (2) ditentukan bahwa dunia usaha dan masyarakat berperan aktif meningkatkan akses UMK terhadap pinjaman atau kredit. " Saya takut dunia usaha dalam RUU ini tidak termasuk perbankan. Artinya bank tidak punya kewajiban untuk berperan secara aktif meningkatkan akses usaha mikro ini, sehingga bank tidak mempunyai kewajiban," jelasnya.

Karena itu dia mengusulkan, ayat 2 tersebut perlu ditambahkan, perbankan berkewajiban sehingga lengkapnya berbunyi, " Dunia usaha, perbankan dan masyarakat berperan aktif meningkatkan akses UMK terhadap pinjaman atau kredit".

Berdasarkan studi kelayakan dimanapun, perbankan melihat usaha itu tak layak maka tidak akan dibiayai. Karena itu beberapa studi yang dilakukan bersama BI mensyaratkan harus ada bank di dalamnya sebab yang menilai terakhir layak atau tidak adalah bank.

Lebih lanjut FX Sugianto menegaskan perlu ada penegasan bahwa usaha-usaha mikro, kecil dan menengah harus dilindungi. Pada UU Penanaman Modal (PM), antara asas dan pasal bisa tidak konsisten. " Saya membayangkan walau ada UMKM yang dilindungi tetapi takut misalnya kalau modal asing masuk ke UMKM, ini hancur ekonomi kita," katanya.

Demikian pula soal penyebaran informasi, dia melihat ketentuan pasal 17 perlu ada satu syarat lagi yaitu secara adil dan transparan, karena penguasaan informasi bisa menciptakan ekonomi profit. Dengan diatur dalam UU ada kekuatan memaksa, sebab dalam RUU tidak terlihat negara itu mempunyai kewajiban, padahal kewenangan itu ada pada negara.

BUMN dan Pemda
Mencermati ketentuan Pasal 20, ayat 1 dan 2 dimana pemerintah dan pemda menyediakan pembiayaan bagi UKM perlu diatur lebih tegas lagi. Sebab kalau menyediakan bisa iya bisa tidak. Untuk itu diusulkan tambahan kata wajib, sehingga ada kekuatan memaksa. Wajib menyediakan pembiayaan bagi UMK dan itu diimplementasikan pada perda.

Begitu juga BUMN Sugianto meminta ditambahkan kata wajib. Dalam RUU hanya dapat menyediakan, artinya bisa melakukan atau tidak. Kalau wajib berarti satu kata dan satu makna, sehingga BUMN dapat menyediakan pembiayaan, yang pada gilirannya tidak bisa tidak harus menyediakan pembiayaan bagi UMK.

"Nggak apa-apa BUMN diwajibkan, karena juga milik rakyat, sahamnya milik rakyat dan rakyat bayar pajak. Sudah saatnya rakyat itu menuntut haknya," tandas Sugianto.

Menanggapi hal ini Ketua Tim Penyerapan aspirasi RUU UMKM Dudhie Makmun Murod mengatakan masukan kalangan perguruan tinggi Jateng ini sangat menarik dan diperkirakan akan menjadi masalah yang cukup berat. Tuntutan akademisi terhadap kewajiban perbankan membantu UMK tetapi di sisi lain perbankan memilki aturan yang ketat untuk mengeluarkan kreditnya sebab terikat dengan aturan yang ketat pula.

Karena itu dalam pembahasan nanti Komisi VI DPR harus mencari formula yang pas sehingga bisa menghasilkan UU yang aspiratif dan yang terpenting bisa implementatif. Ditargetkan RUU ini bisa diselesaikan akhir tahun 2007 ini.

Perlu pembatasan
 Masih berkaitan dengan perlindungan usaha kecil, Wakil Ketua Komisi VI DPR Dudhie Makmun Murod mendesak kepada pemerintah agar operasional minimarket seperti Indomart dan Alfamart ada pembatasan. Meski skalanya lebih kecil dibanding supermarket, tetapi minimarket yang menyerbu sampai ke pelosok-pelosok kampung telah mematikan usaha-usaha kecil.

Masukan yang diterima Komisi VI saat menyerap aspirasi untuk pembahasan RUU UMKM Jawa Tengah, pembatasan operasional minimarket juga diusulkan oleh kalangan perguruan tinggi Jateng. Dalam pertemuan yang dipandu guru besar FE Undip Prof. FX Sugianto mereka mengusulkan adanya perlindungan bagi para pengusaha kecil menengah. Masuknya minimarket ternyata telah mematikan usaha yang lebih kecil lagi termasuk pasar tradisional.

Secara tegas mereka menyebut perlu adanya aturan yang tegas terhadap operasional Alfamart dan Indomart, sehingga UKM tetap terlindungi. Selain itu usaha-usaha kecil sering kalah dalam persaingan, kemudian lambat laut bangkrut dan akhirnya usaha itu mati. " Masalah ini belum disinggung dalam RUU UMKM. Bagaimana pengaturan masalah ini apalagi menghadapi pasar global," kata salah seorang dosen FE Unisula.

Begitu pula soal lokasi usaha UKM, kalau usaha asing ada perlindungan antara 30-hingga 50 tahun. Mereka mempertanyakan apakah mungkin dalam RUU UMKM juga ada perlindungan sehingga tidak ada penggusuran PKL, demo dan sebagainya.

Dudhie Makmun Murod mengatakan, supermarket mini bisa merupakan alternatif untuk melawan hipermarket. Kemudian dikategorikan minimarket termasuk waralaba sebagai usaha menengah, namun kenyataannya mereka memukul pasar-pasar tradisional dan usaha kecil.
Menghadapi keadaan ini, lanjut Dudhie, DPR dan pemerintah dalam hal ini Departemen Perdagangan akan membatasi operasional mereka. " Yang perlu adalah pembatasan waralaba sampai tingkat mana dan jaraknya harus diatur berapa jauh dengan pasar tradisional." katanya dengan menambahkan, kalau menghalangi pertumbuhan minimarket tidak mungkin sebab merupakan salah satu alternatif usaha menengah yang memang perlu digalakkan.

Dikaji Ulang
Sedangkan Guru Besar FH Undip Prof. Sri Redjeki menilai, RUU UMKM yang naskahnya dari pemerintah harus dikaji ulang. Ada beberapa pasal yang tidak konsisten satu sama lain dan dalam konsiderans kurang lengkap mencantumkan dasar hukum undang-undang yang terkait.

Sebagai UU yang baik, kata Sri Redjeki harus konsisten sejak pencantuman Pancasila, UUD 45 sampai dengan UU yang di bawahnya. Filosofi UU akan menjadi lebih berbobot jika merujuk pada tujuan pembentukan suatu negara yaitu menciptakan masyarakat adil dan makmur.

Pimpinan Komisi VI DPR Dudhie Makmun Murod mengakui setelah bertemu dengan tiga pihak akademisi, pelaku usaha/pemda dan perbankan banyak sekali masukan yang sangat berguna bagi pembahasan RUU UMKM. Dia juga mengakui RUU yang naskahnya dari pemerintah masih banyak kekurangannya dan perlu diperbaiki dengan masukan-masukan dari berbagai kalangan.

"Dengan masukan itu nanti diharapkan akan menghasilkan UU yang lebih berkualitas dan yang lebih penting bisa diimplementasikan di lapangan," kata Dudhie menambahkan.
Sikap yang sama disampaikan kalangan Perbankan Sumut meminta agar dimasukkan kemudahan-kemudahan perijinan pada pasal-pasal RUU UMKM karena selama ini perbankan kesulitan melakukan verifikasi perijinan UMKM.

"Selama ini kita kesulitan dalam melakukan klasifikasi perijinan, karena itu kita meminta adanya klasifikasi perijinan khusus untuk UMKM, misalnya diperbolehkannya surat keterangan lurah terkait usaha UMKM,"kata Kepala Kanwil I Bank Mandiri Wahyu Widodo kepada Tim Komisi VI dipimpin Anwar Sanusi.

Karena melalui langkah ini, tambahnya, dapat lebih memudahkan maereka dalam mendapatkan kredit dari pihak perbankan. Selain itu, kata Wahyu perlu dibentuk semacam lembaga penjaminan kredit terhadap UKM.

Menurut dia pihaknya mengaku kesulitan UMKM terletak pada perijinan karena itu perlu adanya keterlibatan pemda dalam memberikan kemudahan dalam memberikan penjaminan.
Syafei menambahkan, perlu adanya dukungan dari pengusaha sehingga UKM yang kurang performed dapat ditingkatkan dari sisi produksi maupun manajemennya.

Ketua tim penyerapan aspirasi Anwar sanusi mengatakan, saat ini program BI untuk UMKM memang sedang gencar-gencarnya karena itu perbankan pemerintah harus mendorong program ini sehingga UMKM Indonesia bisa berkembang.

Hal senada disampaikan oleh Yusuf Pardamean Nasution (F-PD), perlunya ditingkatkan jaringan antar perbankan sehingga kredit UKM dan perbankan dapat maju nantinya.(tim)